Brand Engangement

Sebuah merek memainkan peranan penting bagi sebuah produk dan perusahaan. Membentuk jalinan kuat antara konsumen dan merek menjadi tujuan utama dari aktivitas pemasaran. Faktor penting dalam memahami perilaku konsumen dapat ditentukan melalui bagaimana konsumen menggunakan suatu merek. Diantara banyak cara konsumen berinteraksi dengan produk atau merek tertentu, brand engagement salah satu prediktor terkuat dalam menentukan loyalitas konsumen terhadap suatu merek. Pengetahuan akan suatu merek tidaklah cukup bagi menentukan loyalitas konsumen terhadap produk, sehingga dibutuhkan keterikatan emosional dalam bentuk komitmen terhadap suatu merek atau kecintaan merek. Keterikatan tersebut dapat diidentifikasi melalui adanya sikap yang didasarkan atas kemauan untuk mempertahankan hubungan jangka panjang degan suatu merek tertetu. Secara definisi brand engagement dapat diartikan sebagai proses pembentukan hubungan yang bermakna antara konsumen dengan sebuah brand, dimana dalam proses

INFLASI DAN KRISIS EKONOMI

Asal Muasal Krisis
Istilah krisis umumnya erat berkaitan dengan adanya turning point atau titik balik dimana keadaan ekonomi mengalami pelemahan. Secara ekonomi krisis merupakan istilah klasik yang merujuk pada teori siklus bisnis yang menggambarkan pada sebuah keadaan dimana terjadi degradasi perekonomian menuju ke arah resesi.  Cikal bakal istilah krisis lahir dari teori siklus bisnis Junglar, namun Junglar sendiri tidak memaparkan secara sistematis tahapan siklus bisnis, hingga dalam perkembangannya, Joseph Schumpeter (1883-1950) menyatakan bahwa siklus Junglar memiliki empat tahapan yaitu :
1.     Tahap ekspansi yang ditandai dengan peningatan harga dan produksi, tingkat bunga yang rendah
2.     Tahap krisis terlihat dari kerutuhan nilai  tukar dan terjadinya kebangkrutan dari beberapa perusahaan
3.     Tahap resesi ditandai dengan penurunan harga dan output, serta tingginya tingkat bunga
4.     Tahap pemulihan yang bercirikan pemulihan saham akibat kejatuhan darga dan pendapatan

Krisis ekonomi yang saat ini kita kenal pertama kali lahir tidak lain dari adanya fenomena “Great Depsession” tahun 1930’an. Sebelumnya, bisa dikatakan perekonomian dunia telah cukup “nyaman” terhanyut dalam doktrin laizzes faire atau gagasan invinsible hand - Adam Smith.  Dalam essay berjudul "The Causes of the Economic Crisis" Mises (1931) menjelaskan bahwasanya krisis merupakan bagian dari siklus bisnis akibat dari kegagalan otoritas moneter dan adanya cheap credit atau kelonggaran dalam pemberian pinjaman. Ia menyatakan pula bahwa siklus tersebut akan menjadi lebih buruk apabila ada intervensi dari pemerintah. Ekspansi kredit tidak dapat menambah penawaran barang secara riil. Melainkan hanya sebuah penataan kembali melalui penyertaan modal kepada mekanisme pasar keuangan tanpa diimbangi produktivitas secara nyata. Jika kinerja sektor keuangan tidak diimbangi dengan kinerja sektor riil yang baik maka yang ada hanyalah kemakmuran semu. Dimana dalam kasus tersebut tidak mencerminkan peningkatan kekayaan ekonomi. Sebaliknya, fenomena tersebut muncul dari adanya ekspansi kredit menciptakan ilusi seperti adanya peningkatan. Ia menganalogikan keadaan tersebut sebagai situasi ekonomi tersebut bagaikan bangunan yang dibangun diatas pasir atau singkatnya cepat atau lambat akan runtuh[1]

Adanya pelemahan nilai mata uang dan ekspansi kredit perbankan didorong oleh ekspansi moneter yang berlebih di banyak negara, sementara terjadi kontraksi deposito bank, suku bunga riil domestik yang tinggi seringkali mencerminkan permasalahan di sektor perbankan yang menuntun ke arah terjadinya krisis ekonomi.

Pun masih sama dalam kasus perekonomian modern, terjadinya krisis ekonomi berhubungan erat dengan kejatuhan pada sektor finansial sehingga berdampak pada sektor lainnya. Perbedaan krisis ekonomi dengan krisis keuangan berada pada ruang lingkupnya.

Pengertian krisis keuangan/moneter sendiri, memiliki implikasi cukup luas dimana sejumlah aset finansial secara tiba-tiba kehilangan nilainya secara drastis. Kasus krisis keuangan yang selama ini terjadi dalam kurun abad 19 dan 20 erat berhubungan dengan kepanikan perbankan dalam menghadapi suatu situasi perekonomian yang meliputi  kejatuhan bursa saham, gejolak keuangan, krisis mata uang dan  kegagalan pemerintah dalam membayar hutang sehingga secara sistematis akan mempengaruhi keadaan perekonomian secara keseluruhan. Krisis ekonomi sendiri didefinisikan sebagai suatu situasi dimana perekonomian suatu negara mengalami titik balik akibat krisis keuangan. Perekonomian yang mengalami krisis umumnya memiliki gejala penurunan GDP, kekurangan likuiditas dan kenaikan atau penurunan harga akibat inflasi atau deflasi. Krisis ekonomi dapat pula berbentuk resesi dan depresi. [2]

Selain dipicu oleh keruntuhan sektor keuangan, krisis ekonomi dapat pula disebabkan krisis mata uang. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah tingginya ekspor , pertumbuhan impor berlebih, dan lain tukar yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada transaksi berjalan, dan secara historis sering dikaitkan dengan krisis mata uang di banyak negara. Kelemahan eksternal dan nilai uang yang rendah juga bisa menambah kerentanan sektor perbankan sejak hilangnya daya saing dan pasar eksternal dapat mengakibatkan resesi, kegagalan bisnis, dan penurunan kualitas kredit. Krisis perbankan juga bisa menyebabkan krisis mata uang.

Krisis Keuangan dan Krisis Perbankan

Krisis keuangan dan krisis perbankan seringkali berjalan beriringan; dalam beberapa kasus memiliki maksud identik, meskipun krisis perbankan biasanya hanya mencakup pada peristiwa di sektor keuangan. Dalam banyak kasus, terutama apabila melihat dalam sejarah, krisis perbankan seringkali mendahului krisis keuangan. Sering kali hal itu akan ditambah dengan krisis mata uang atau pertukaran. Kaminsky & Reinhart (2009) menggambarkan awal krisis perbankan diawali oleh beberapa fenomena diantaranya: (1) kejatuhan bank yang mengarah ke penutupan, penggabungan, atau pengambilalihan oleh sektor publik; dan (2) jika tidak memungkinkan, penutupan, penggabungan, pengambilalihan, atau bantuan dilakukan oleh pemerintah. Perubahan besar dalam lanskap sektor keuangan biasanya menandai krisis perbankan. Kita sering dapat melihat krisis perbankan berkembang secara bertahap seperti yang dijelaskan oleh Nakaso (2001), yang menggambarkan empat tahap; (1) pelaku pasar menjadi enggan untuk melakukan bisnis dengan bank-bank bermasalah, sehingga premi risiko lebih tinggi untuk bank-bank, dan umumnya muncul 2-3 tahun diawal; (2) gejolak permasalahan keuangan; (3) nasabah mulai kehilangan kepercayaan pada bank, dan penurunan "deposit kelebihan jatah" terlihat; dan (4) aset likuid untuk dijual telah habis dan bank menjadi bangkrut. Hal ini dapat terjadi selama beberapa tahun, dan lain-lain dalam beberapa pekan atau hari, dalam kasus yang paling bank.[3]

Lalu bagaimana kita mengetahui apakah kita sedang mengalami krisis atau hanya sekedar gejolak ekonomi sementara?

Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu, terdapat indikator-indikator ekonomi yang dapat dijadikan tolak ukur dalam mengantisipasi krisis dalam suatu perekonomian. Indikator tersebut bervariasi, ada yang kuantitatif,  dan beberapa adapula yang bersifat subjektif.

Berdasarkan penelitian Jan Babecký dan Borek Vasicek (2012) pertumbuhan kredit, peningkatan utang pemerintah, konsumsi rumah tangga, defisit transaksi berjalan, arus masuk FDI, dan harga saham dapat memainkan peranan penting sebagai indikator peringatan dini terjadinya krisis.[4] Dalam penelitian tersebut diantara 32 variabel yang berpotensi berpengaruh terhadap krisis, inflasi termasuk didalam 13 besar variabel yang termasuk dalam indikator krisis.

Inflasi
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya inflasi merupakan salah satu indikator terjadinya krisis, walau inflasi sendiri bukanlah determinan utama terjadinya krisis. Namun inflasi sebagai suatu gejala kenaikan harga barang secara umum dapat berfungsi sebagai penanda apabila terjadi instabilitas pada suatu perekonomian.

Kesimpulannya, Inflasi dan Krisis memiliki hubungan. Namun keduanya memiliki perbedaan substansi, baik dari segi definisi maupun waktu terjadinya, inflasi terjadi sepanjang waktu sebagai bagian dari dinamika perekonomian dan umumnya telah direncanakan. Sementara krisis merupakan fenomena yang tidak terjadi setiap saat (merujuk pada gejala yang telah di paparkan sebelumnya) dan cenderung tidak dapat diprediksi. Pengendalian angka inflasi merupakan salah satu jalan dalam menekan atau mengatasi terjadinya krisis, dalam artian ketika terjadi krisis pemerintah dapat melakukan penekanan angka inflasi melalui berbagai instrumen kebijakan.

- not finished yet -



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOTIVASI MANAJEMEN

Teori Produksi Jangka Pendek

EKONOMI MIKRO :PERMINTAAN DAN PENAWARAN