Brand Engangement

Sebuah merek memainkan peranan penting bagi sebuah produk dan perusahaan. Membentuk jalinan kuat antara konsumen dan merek menjadi tujuan utama dari aktivitas pemasaran. Faktor penting dalam memahami perilaku konsumen dapat ditentukan melalui bagaimana konsumen menggunakan suatu merek. Diantara banyak cara konsumen berinteraksi dengan produk atau merek tertentu, brand engagement salah satu prediktor terkuat dalam menentukan loyalitas konsumen terhadap suatu merek. Pengetahuan akan suatu merek tidaklah cukup bagi menentukan loyalitas konsumen terhadap produk, sehingga dibutuhkan keterikatan emosional dalam bentuk komitmen terhadap suatu merek atau kecintaan merek. Keterikatan tersebut dapat diidentifikasi melalui adanya sikap yang didasarkan atas kemauan untuk mempertahankan hubungan jangka panjang degan suatu merek tertetu. Secara definisi brand engagement dapat diartikan sebagai proses pembentukan hubungan yang bermakna antara konsumen dengan sebuah brand, dimana dalam proses

Kelembagaan Ekonomi Baru dan Aplikasinya pada Transisi dan Pembangunan Ekonomi




Transisi ekonomi merupakan pergantian dari sistem ekonomi terpusat ke sistem ekonomi pasar. Transisi ekonomi penting dalam membangun institusi yang dapat mengaktifkan, memotivasi, dan membimbing pelaku ekonomi untuk dapat menciptakan kesejahteraan baik pribadi maupun sosial. Pergantian sistem perekonomian terpusat direncanakan untuk membangun fondasi kelembagaan ekonomi pasar yang mana membutuhkan transformasi kelembagaan yang dapat menjangkau secara tepat sasaran. Transisi ekonomi menawarkan kesempatan langka bagi para ekonom untuk mengkaji kembali kondisi yang sangat jarang terjadi pada dinamika perubahan kelembagaan, dimana unsur-unsur kelembagaan informal dan formal berbenturan, berinteraksi, dan bergabung kembali untuk membentuk satu  fondasi kelembagaan ekonomi pasar.
Model sistem ekonomi bertingkat Williamson merupakan sebuah pendekatan yang lebih luas dimana menggabungkan dua atau lebih tingkat analisis multi-level model Williamson, diperlukan untuk mencakup secara tepat bentuk interaksi yang kompleks antara unsur-unsur kelembagaan formal dan informal, serta mendorong perubahan kelembagaan dan kinerja ekonomi pada masa transisi ekonomi. Analisa dari negara yang sedang mengalami transisi membuka kesempatan bagi para ekonom untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan baru terkait sikap saling ketergantungan antara lingkungan dan kelembagaan dan antara lingkungan kelembagaan dan munculnya pengaturan kelembagaan tertentu dari analisis multi-level model Williamson.
Pertama, pengamanan hak milik dijalankan dengan mekanisme yang baik  untuk dalam koridor transaksi ekonomi, secara umum dianggap sebagai prasyarat penting bagi pembangunan ekonomi. Kedua, pilihan kontraktual adalah penerapan klasikal dari transaksi  ekonomi biaya pada tingkat mikro. Menurut Williamson, pergeseran parameter lingkungan kelembagaan mempengaruhi penghematan dari penataan kelembagaan yang optimal. Penerapan teori kontrak karenanya menuntut penggabungan cermat lingkungan kelembagaan, sehingga pilihan kontraktual harus dipahami dengan baik. Pilihan kontraktual dalam transisi ekonomi yang tertanam dalam lingkungan kelembagaan yang berbeda  jelas menyimpang dari kondisi kemapanan ekonomi. Ini berarti juga bahwa rekomendasi kebijakan terkait jenis kontrak tertentu mungkin terbukti tidak sehat jika kendala pemberlakuannya tidak diperhitungkan.
Swastanisasi merupakan prioritas utama dalam paket reformasi paling menentukan  bagi pembangunan dan transisi ekonomi. Swastanisasi mencakup tidak hanya redistribusi hak milik dari negara kepada investor swasta, tetapi juga penciptaan pengaturan kelembagaan untuk mengelola perdagangan dan memberikan perlindungan kekayaan tanah, benda tidak berwujud, dan surat berharga.
Secara umum diasumsikan bahwa kualitas hak kepemilikan, seperti tercermin oleh aturan hukum dan keamanan hak milik, mempengaruhi pertumbuhan nasional melalui empat mekanisme utama. Pertama, jaminan hak kepemilikan mengurangi rasa tidak aman yang dengan demikian meningkatkan kegiatan investasi nasional dan investasi asing secara langsung. Kedua, hak kepemilikan mempengaruhi investasi dalam teknologi dan modal. Ketiga, jaminan hak kepemilikan mengurangi biaya transaksi, seperti halnya “pesanan” pihak swasta menjadi hal yang tidak berlaku lagi dalam kerangka kelembagaan yang aman.
Hasil yang mengejutkan terjadi dari swastanisasi akhir-akhir ini, bagaimanapun, bahwa efek swastanisasi jelas bervariasi di seluruh negara dan tentunya responsif terhadap metode swastanisasi. Struktur kepemilikan ditetapkan melalui swastanisasi ternyata relatif tidak bervariasi karena pasar tidak tanggap, hal ini menghambat perdagangan saham, yang memiliki dampak laten pada restrukturisasi perusahaan dan kinerja perusahaan. Fenomena seperti munculnya kontrol luas dari orang dalam dan konsentrasi proporsi saham yang sangat besar dari beberapa  pemegang saham menunjukkan bahwa metode swastanisasi tertentu bukanlah pilihan yang sepele.
            Mayoritas studi empiris tentang efek swastanisasi tampaknya bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa eksklusivitas peningkatan hak milik berhubungan dengan efisiensi pertumbuhan ekonomi. Swastanisasi yang cepat, seperti di Estonia serta swastanisasi lambat, seperti Polandia (Grosfeld dan Nivet 1999), keduanya menyajikan efek swastanisasi yang menguntungkan, bahkan negara-negara di bawah kepemimpinan komunis, memilih melakukan swastanisasi sebagian BUMN, karena menyadari efek positif swastanisasi melalui pengenalan para pemegang saham pemegang saham asing.
Penjelasan untuk penyebab kesenjangan regional  sebagai hasil restrukturisasi adalah beragam, tetapi ada konsensus luas bahwa secara sederhana pembentukan hak milik de jure yaitu, transfer formal hak milik dari negara untuk pelaku ekonomi swasta, meremehkan kompleksitas peralihan tugas. Secara khusus, kualitas lembaga pelengkap yang berada di bawah standar menghambat penegakan efisiensi NIE & Aplikasinya pada masa Transisi dan Pembangunan Ekonomi. Kebanyakan transisi ekonomi memiliki disfungsi sistem hukum  yang ditandai baik dengan undang-undang dan peraturan yang hilang atau penegakan hukum yang ada tidak memadai. Meskipun pendekatan hak milik biasanya tidak termasuk analisis lingkungan kelembagaan, secara implisit masih mengandaikan adanya suatu lingkungan kelembagaan yang ditandai dengan pasar yang matang, sistem hukum independen dan tidak memihak, menjamin pelaksanaan secara de facto dari hukum de jure untuk aktor individual. Tak satu pun dari asumsi ini biasanya berlaku untuk pasar negara berkembang dan transisi ekonomi. Sebaliknya, ekonomi transisi biasanya ditandai oleh pasar produk dan modal belum berkembang, tidak adanya budaya pasar, dan disfungsi sistem hukum. Secara keseluruhan, tingkat keakuratan argumen yang berasal dari  teori hak milik itu tentu terbatas.
            Adanya ekses dari swastanisasi menantang pemikiran umum terkait hak milik. Sebuah penafsiran sempit dari teori hak milik juga tidak dapat menjelaskan kinerja ekonomi yang luar biasa dari Cina dan Vietnam sejak awal reformasi ekonomi pada tahun 1978 dan 1986. Secara khusus, kinerja yang luar biasa dari apa yang disebut Cina TVEs, yaitu sebuah  organisasi campuran yang ditandai dengan pengaturan milik kolektif secara  resmi dan keterlibatan intensif pemerintah daerah, partai, dan birokrasi, melemahkan gagasan umum yang berlaku mengenai "struktur hak milik yang tepat".
Transaksi ekonomi biaya Williamson menawarkan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menganalisis hak milik. Dengan " transaksi biaya sebagai unit dasar dari analisis" dan pemerintahan sebagai "sarana yang memungkinkan untuk menanamkan ketertiban, untuk meredakan konflik dan mewujudkan keuntungan bersama," Williamson menawarkan alternatif normatif  tentang eksklusifitas hak milik formal dan menggeser perhatian dari hak milik de jure ke de facto. Meskipun  pendekatan hak milik memberikan peran dominan kepada pemerintah, pandangan transaksi-biaya menggeser perhatian pada bagaimana cara individu dan kelompok sosial benar-benar memainkan perannya. Kemampuan swadaya melengkapi aturan formal yang dapat meningkatkan kualitas hubungan perdagangan. Dengan demikian, mendapatkan struktur pemerintahan yang tepat untuk menggantikan mendapatkan hak atas milik yang terdahulu sebagai tujuan inti perusahaan dalam mengembangkan atau transisi ekonomi menghadapi reformasi kelembagaan dalam skala besar.
Perspektif lengkap pada hukum de facto memang lebih tepat untuk menjelaskan munculnya bentuk-bentuk organisasi campuran ditandai dengan ketiadaan hak milik pribadi, dan membantu untuk mengungkapkan kapan dan mengapa upaya swastanisasi berhasil atau gagal.
Titik fokus lain dalam penerapan NIE pada  transisi ekonomi adalah teori kontrak, termasuk analisis pilihan kontrak. Satu pelajaran penting yang bisa dipetik adalah bahwa kualitas kelembagaan yang berbeda dari transisi ekonomi, ditandai oleh tingginya tingkat ketidakpastian yang secara kritis mempengaruhi tingkat keuntungan. Dibandingkan dengan ekonomi pasar, transisi ekonomi  merupakan lingkungan yang berisiko tinggi dengan tingkat  ketidakpastian di atas rata-rata akibat seringnya perubahan kebijakan, transparansi yang tidak memadai, prediktabilitas yang rendah, dan hambatan birokrasi. Ketidakpastian yang dihasilkan dari lembaga-lembaga politik dan ekonomi yang lemah semakin memeperburuk keadaan, karena dalam sebagian besar transisi ekonomi terjadi penyimpangan sistem hukum.
Sementara ketidakpastian yang lebih tinggi dihasilkan dari ketidakmatangan lembaga yang kemungkinan akan mempengaruhi pilihan kontrak, dimana penyimpangan ketertiban umum akan selalu mempengaruhi kepentingan umum dan beragam jenis  mekanisme swadaya. Selanjutnya, transisi ekonomi, dengan pengaturan kelembagaan yang berbeda , menyediakan tempat yang informatif untuk mengamati interaksi antara pilihan kontrak dan lingkungan kelembagaan, dan interaksi antara kepentingan publik dan swasta.
Salah satu contoh awal pencerahan pada interaksi antara pilihan kontrak dan lingkungan kelembagaan diberikan oleh Stiglitz (1974) dengan model bagi hasil. Dalam pertimbangan pengambilan risiko, pembagian sewa dapat berkembang sebagai instrumen yang efektif untuk mendistribusikan risiko dan insentif antara petani penggarap dan pemilik lahan. Meskipun penyelenggara memiliki insentif kuat untuk bekerja lebih efisien dari pada sistem kontrak upah, mereka harus menanggung pembagian hasil yang lebih kecil dari risiko keuangan dibandingkan pada sistem kontrak sewa. Demikian pula, Laffont dan Matoussi (1995) mengembangkan teori bagi hasil yang menekankan peranan pasar kredit yang lemah dalam pemilihan kontrak. Insentif kontrak seperti kontrak sewa seringkali dianggap tidak mungkin karena keterbatasan keuangan penyewa, sementara kontrak bagi hasil menawarkan kesempatan yang lebih baik dari pembagian risiko.
Mekanisme untuk pengamanan kontrak bervariasi secara signifikan dalam transisi ekonomi. Secara umum ada dua metode untuk mengamankan transaksi: dengan cara penegakan hukum dan melalui mekanisme perlindungan pribadi, seperti ketergantungan pada hubungan kontraktual dan pilihan jenis kontrak tertentu. Ketepatan dari kedua metode jelas bergantung pada kecakapan sistem hukum. Kerjasama bilateral antara dua mitra dagang mungkin akan muncul jika mereka menemukan diri mereka dalam situasi alternatif terbatas yang (sementara) mengunci kontraktor bersama-sama. Institusi,  pasar yang tidak berkembang, kompetisi yang lemah (baik oleh beberapa pembeli ataupun penjual), informasi pasar yang buruk ketika mencari kontraktor alternatif, atau biaya transportasi yang tinggi untuk transaksi diluar wilayah, misalnya, dengan mudah dapat mengunci mitra kontrak dengan satu sama lain). Tanpa penguncian diantara kontraktor, dan jika hubungan perdagangan agak jarang terjadi, hubungan kontraktual multilateral dapat memberikan suatu mekanisme swadaya yang efektif.
Mekanisme swadaya kurang tepat diterapkan sebelum tercipta ketertiban umum,  Hubungan kontraktual dalam jaringan sosial dan bisnis sangat bervariasi di seluruh negara-negara berkembang dalam masa transisi ekonomi. Pertanyaan penting adalah,  dalam keadaan yang bagaimana aktor individual bergantung pada jaringan perdagangan dalam rangka menjembatani kesenjangan yang disebabkan penyimpangan ketertiban umum.
Greif (1993) memperkenalkan gagasan bahwa perbedaan dapat membentuk munculnya keyakinan budaya  secara signifikan  dan presistensi dalam bentuk organisasi yang berbeda. Perbedaan tingkat budaya terkait kepercayaan antarpribadi dan hubungan kekerabatan muncul sebagai penentu utama  dalam mengembangkan lembaga-lembaga formal.
Namun keberadaan dan pentingnya hubungan kontraktual multilateral tidak hanya tergantung pada keyakinan budaya. Politisi juga mempengaruhi lingkungan bisnis dengan cara mendorong atau menghambat munculnya hubungan kontraktual untuk menggantikan lembaga formal. Prediktabilitas masa depan adalah prasyarat utama swadaya yang efektif. Korupsi, pembebanan pajak yang berlebihan, tingkat inflasi yang tinggi, keamanan publik yang lemah, dan setiap keadaan yang mengurangi keuntungan di masa depan atau menghambat perhitungan pada diharapkan terbayar dari hubungan bisnis yang berkelanjutan, dimana dengan mudah dapat menghambat pembangunan hubungan kontraktual.
Bagaimanapun, anggapan hubungan kontraktual sebagai obat universal bagi negara-negara dengan tingkat ketertiban umum yang rendah merupakan kesalahpahaman. Hubungan kontraktual multilateral tidak selalu menawarkan solusi yang memuaskan. Sementara hubungan kontraktual multilateral biasanya bekerja dengan baik untuk perusahaan kecil dan pemula, di sisi lain pada perusahaan berskala besar dengan portofolio produk yang sangat beragam dan proses produksi yang kompleks akan sulit untuk mengamankan kontrak mereka dalam jaringan sosial lokal terbatas. Dari perspektif dinamis, ketergantungan tunggal pada hubungan kontraktual multilateral menghambat pertumbuhan melampaui ukuran perusahaan tertentu.
Marin dan Schnitzer (2002) mengeksplorasi kembali munculnya barter sebagai pilihan kontrak yang optimal bagi perusahaan-perusahaan bertindak dalam lingkungan bisnis yang ditandai dengan sistem keuangan yang lemah, tingkat inflasi yang tinggi, dan sistem hukum yang belum matang. Mereka menunjukkan bahwa barter memungkinkan mitra dagang untuk mengurangi risiko yang berasal dari lingkungan kelembagaan yang tidak efisien. Barter juga menyediakan penjaminan kredit perdagangan, bahkan mungkin menyediakan mekanisme penegakan unggul dibandingkan dengan membangun reputasi (Marin dan Schnitzer 2003). Perdagangan dengan barter, bagaimanapun, juga memiliki keterbatasan, sebagai pencocokan mitra dagang dan barang yang diperdagangkan serta pemberlakuan transaksi tambahan biaya dibandingkan dengan perdagangan pasar bersifat pribadi didukung oleh lembaga-lembaga hukum yang dapat diandalkan dan adil.
Semua pengamatan ini mendukung gagasan bahwa penalaran transaksi biaya berfungsi sebagai mekanisme inti untuk menentukan pilihan antara hubungan kontraktual dan mekanisme penegakan koersif (Milgrom, North, dan Weingast 1990). Pentingnya struktur biaya saat ini dalam pemilihan mekanisme penegakan yang sesuai, sehingga dapat menunjukkan satu pelajaran utama untuk transisi ekonomi di negara berkembang.
Penurunan perekonomian secara tajam, tingkat inflasi yang tinggi, dan tingkat pengangguran yang tinggi, mengisyaratkan bahwa penggantian satu sistem ekonomi oleh yang sistem ekonomi yang lain bukanlah suatu usaha yang mudah. Menjadi jelas, bahwa kemampuan negara untuk mengelola secara efektif reformasi kelembagaan, khususnya, ternyata menjadi penentu penting dari keberhasilan reformasi secara keseluruhan. Manajemen perubahan kelembagaan dapat secara luas dibagi menjadi dua kompetensi inti:  agenda reformasi yang sesuai, dan kemampuan politik dan birokrasi yang secara efektif diterapkan dan penegakkan perubahan kelembagaan pada skala nasional.
Pertama-tama, pemerintah perlu mengidentifikasi lembaga yang tepat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Di sini, pemerintah dapat membangun terpadu temuan empiris pada lembaga-lembaga penting untuk mendukung pembangunan ekonomi (Aron 2000, Rodrik 2006. Selain itu, dua faktor penentu utama cenderung mempengaruhi  prospek reformasi kelembagaan jangka pendek yaitu keberhasilan Reformasi institusi suatu negara  akan bergantung pada insentif pemerintah untuk melaksanakan reformasi kelembagaan, dan kapasitas teknis untuk menerapkan dan menegakkan reformasi kelembagaan.
Masalah inti dalam reformasi kelembagaan, ialah  lembaga biasanya terdapat pada  efisiensi kerangka aturan formal, yang mana diciptakan untuk melayani kepentingan mereka yang memiliki daya tawar untuk membuat aturan baru. Selain itu, negara-negara berkembang seringkali mengalami ketertinggalan dan terisolasi dalam pengambilan keputusan politik dan birokrasi.
Arahan negara pada reformasi kelembagaan pasti terbatas pada perubahan dalam aturan formal. Aturan informal, di sisi lain, berada di luar jangkauan negara, sulit untuk berubah, dan biasanya mengandung pengaruh yang telah melekat pada karakter jangka panjang dalam kegiatan ekonomi. Penelitian dan teori tentang mekanisme norma-norma informal ilmu-ilmu sosial khususnya untuk sosiolog, yang memiliki keunggulan komparatif ketika ada  pertanyaan yang berfokus pada mekanisme sosial yang menyalurkan kepentingan ekonomi dan perilaku bentuk ekonomi.
Dalam mencari kejelasan tentang kapan dan bagaimana norma-norma informal muncul dan bertahan, adalah pertanyaan yang sangat relevan, bagaimana norma-norma informal dan norma-norma resmi bergabung untuk membentuk suatu kinerja ekonomi. Sosiologi ekonomi dapat memberikan wawasan yang bermanfaat berhubungan  dengan cara norma informal dan kelompok sosial saling berhubungan, dan menggabungkannya dengan aturan formal
Keberagaman NIE tentu menyentuh isu-isu penting yang relevan untuk terkait pembahasan ekonomi transisi. Namun, NIE tidak  memiliki rumus emas untuk menghindari ketertinggalan atau resep bagaimana membangun ekonomi pasar. Sebuah perhitungan yang adil dan jujur ​​harus berfokus pada pertanyaan tentang apa aplikasi sebenarnya telah NIE capai dan apakah konsep dan solusi yang diberikan dapat mengungguli pandangan neoklasik utama. Seperti pandangan komparatif pasti akan mendukung NIE.
Tidak mengherankan, suatu difusi peningkatan pemikiran institusional dalam bidang ekonomi pembangunan dan transisi dapat diamati. Pergeseran diamati ke arah pendekatan kelembagaan dalam pembangunan dan transisi ekonomi sehingga dapat dengan jelas ditafsirkan dalam mencari alternatif yang tepat untuk menjelaskan dan memahami tentang berbagai fenomena tersebut terjadi di dunia nyata, yang mana tidak cukup tercakup oleh model neoklasik. Proporsi analisis NIE yang berorientasi di bidang ekonomi pembangunan dan transisi ekonomi meningkat pesat.
Dua arah utama ditekankan di sini, yang mana kedua permintaan merupakan konsekuensi dari pendekatan interdisipliner NIE. Pertama-tama, hubungan antara norma-norma formal dan informal merupakan salah satu topik penting yang terungkap dalam penelitian selama satu dekade terakhir. Kedua adalah peran penting dari negara dalam mendefinisikan dan menerapkan lembaga formal. Permasalahan ini merupakan panggilan kuat dalam upaya penelitian interdisipliner jika perubahan kelembagaan harus dipahami. Kita masih terlalu sedikit tahu mengenai "interaksi antara pasar ekonomi dan politik" (North 1995, hlm. 20), penggabungan sistematis ekonomi politik baru mungkin memberikan wawasan baru.
Teka-teki perubahan kelembagaan tentu masih memiliki banyak bagian yang hilang dan hingga saat ini kita masih berada jauh untuk melihat “gambaran secara utuh” dalam waktu dekat, tapi aplikasi empiris dari NIE dalam pembangunan dan transisi ekonomi yang sangat dinamis tak diragukan lagi memberikan lahan subur bagi kemajuan disiplin.


Source :
New Institutional Economics and Its Application on Transition and Developing
Economies, Sonja Opper

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOTIVASI MANAJEMEN

Teori Produksi Jangka Pendek

EKONOMI MIKRO :PERMINTAAN DAN PENAWARAN