Asal Muasal Krisis
Istilah krisis umumnya erat berkaitan
dengan adanya turning point atau
titik balik dimana keadaan ekonomi mengalami pelemahan. Secara ekonomi krisis
merupakan istilah klasik yang merujuk pada teori siklus bisnis yang
menggambarkan pada sebuah keadaan dimana terjadi degradasi perekonomian menuju
ke arah resesi. Cikal bakal istilah
krisis lahir dari teori siklus bisnis Junglar, namun Junglar sendiri tidak
memaparkan secara sistematis tahapan siklus bisnis, hingga dalam
perkembangannya, Joseph Schumpeter (1883-1950) menyatakan bahwa siklus Junglar
memiliki empat tahapan yaitu :
1.
Tahap
ekspansi yang ditandai dengan peningatan harga dan produksi, tingkat bunga yang
rendah
2.
Tahap
krisis terlihat dari kerutuhan nilai tukar
dan terjadinya kebangkrutan dari beberapa perusahaan
3.
Tahap
resesi ditandai dengan penurunan harga dan output, serta tingginya tingkat
bunga
4.
Tahap
pemulihan yang bercirikan pemulihan saham akibat kejatuhan darga dan pendapatan
Krisis ekonomi yang saat ini kita kenal
pertama kali lahir tidak lain dari adanya fenomena “Great Depsession” tahun
1930’an. Sebelumnya, bisa dikatakan perekonomian dunia telah cukup “nyaman”
terhanyut dalam doktrin laizzes faire
atau gagasan invinsible hand - Adam Smith. Dalam essay
berjudul "The Causes of the Economic Crisis" Mises (1931) menjelaskan
bahwasanya krisis merupakan bagian dari siklus bisnis akibat dari kegagalan
otoritas moneter dan adanya cheap credit
atau kelonggaran dalam pemberian pinjaman. Ia menyatakan pula bahwa siklus
tersebut akan menjadi lebih buruk apabila ada intervensi dari pemerintah.
Ekspansi kredit tidak dapat menambah penawaran barang secara riil. Melainkan
hanya sebuah penataan kembali melalui penyertaan modal kepada mekanisme pasar
keuangan tanpa diimbangi produktivitas secara nyata. Jika kinerja sektor
keuangan tidak diimbangi dengan kinerja sektor riil yang baik maka yang ada
hanyalah kemakmuran semu. Dimana dalam kasus tersebut tidak mencerminkan
peningkatan kekayaan ekonomi. Sebaliknya, fenomena tersebut muncul dari adanya
ekspansi kredit menciptakan ilusi seperti adanya peningkatan. Ia menganalogikan
keadaan tersebut sebagai situasi ekonomi tersebut bagaikan bangunan yang
dibangun diatas pasir atau singkatnya cepat atau lambat akan runtuh
Adanya pelemahan nilai mata uang dan
ekspansi kredit perbankan didorong oleh ekspansi moneter yang berlebih di banyak
negara, sementara terjadi kontraksi deposito bank, suku bunga riil domestik
yang tinggi seringkali mencerminkan permasalahan di sektor perbankan yang
menuntun ke arah terjadinya krisis ekonomi.
Pun masih sama dalam kasus perekonomian
modern, terjadinya krisis ekonomi berhubungan erat dengan kejatuhan pada sektor
finansial sehingga berdampak pada sektor lainnya. Perbedaan krisis ekonomi
dengan krisis keuangan berada pada ruang lingkupnya.
Pengertian krisis keuangan/moneter
sendiri, memiliki implikasi cukup luas dimana sejumlah aset finansial secara tiba-tiba
kehilangan nilainya secara drastis. Kasus krisis keuangan yang selama ini
terjadi dalam kurun abad 19 dan 20 erat berhubungan dengan kepanikan perbankan
dalam menghadapi suatu situasi perekonomian yang meliputi kejatuhan bursa saham, gejolak keuangan,
krisis mata uang dan kegagalan
pemerintah dalam membayar hutang sehingga secara sistematis akan mempengaruhi
keadaan perekonomian secara keseluruhan. Krisis ekonomi sendiri didefinisikan
sebagai suatu situasi dimana perekonomian suatu negara mengalami titik balik
akibat krisis keuangan. Perekonomian yang mengalami krisis umumnya memiliki gejala
penurunan GDP, kekurangan likuiditas dan kenaikan atau penurunan harga akibat
inflasi atau deflasi. Krisis ekonomi dapat pula berbentuk resesi dan depresi.
Selain dipicu oleh keruntuhan sektor
keuangan, krisis ekonomi dapat pula disebabkan krisis mata uang. Faktor-faktor
yang mempengaruhi diantaranya adalah tingginya ekspor , pertumbuhan impor
berlebih, dan lain tukar yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada transaksi
berjalan, dan secara historis sering dikaitkan dengan krisis mata uang di banyak
negara. Kelemahan eksternal dan nilai uang yang rendah juga bisa menambah
kerentanan sektor perbankan sejak hilangnya daya saing dan pasar eksternal
dapat mengakibatkan resesi, kegagalan bisnis, dan penurunan kualitas kredit.
Krisis perbankan juga bisa menyebabkan krisis mata uang.
Krisis
Keuangan dan Krisis Perbankan
Krisis keuangan dan krisis perbankan
seringkali berjalan beriringan; dalam beberapa kasus memiliki maksud identik,
meskipun krisis perbankan biasanya hanya mencakup pada peristiwa di sektor
keuangan. Dalam banyak kasus, terutama apabila melihat dalam sejarah, krisis
perbankan seringkali mendahului krisis keuangan. Sering kali hal itu akan
ditambah dengan krisis mata uang atau pertukaran. Kaminsky & Reinhart
(2009) menggambarkan awal krisis perbankan diawali oleh beberapa fenomena
diantaranya: (1) kejatuhan bank yang mengarah ke penutupan, penggabungan, atau
pengambilalihan oleh sektor publik; dan (2) jika tidak memungkinkan, penutupan,
penggabungan, pengambilalihan, atau bantuan dilakukan oleh pemerintah.
Perubahan besar dalam lanskap sektor keuangan biasanya menandai krisis
perbankan. Kita sering dapat melihat krisis perbankan berkembang secara
bertahap seperti yang dijelaskan oleh Nakaso (2001), yang menggambarkan empat
tahap; (1) pelaku pasar menjadi enggan untuk melakukan bisnis dengan bank-bank
bermasalah, sehingga premi risiko lebih tinggi untuk bank-bank, dan umumnya
muncul 2-3 tahun diawal; (2) gejolak permasalahan keuangan; (3) nasabah mulai
kehilangan kepercayaan pada bank, dan penurunan "deposit kelebihan
jatah" terlihat; dan (4) aset likuid untuk dijual telah habis dan bank
menjadi bangkrut. Hal ini dapat terjadi selama beberapa tahun, dan lain-lain
dalam beberapa pekan atau hari, dalam kasus yang paling bank.
Lalu
bagaimana kita mengetahui apakah kita sedang mengalami krisis atau hanya sekedar
gejolak ekonomi sementara?
Berdasarkan beberapa penelitian
terdahulu, terdapat indikator-indikator ekonomi yang dapat dijadikan tolak ukur
dalam mengantisipasi krisis dalam suatu perekonomian. Indikator tersebut bervariasi,
ada yang kuantitatif, dan beberapa adapula
yang bersifat subjektif.
Berdasarkan penelitian Jan Babecký dan
Borek Vasicek (2012) pertumbuhan kredit, peningkatan utang pemerintah, konsumsi
rumah tangga, defisit transaksi berjalan, arus masuk FDI, dan harga saham dapat
memainkan peranan penting sebagai indikator peringatan dini terjadinya krisis.
Dalam penelitian tersebut diantara 32 variabel yang berpotensi berpengaruh
terhadap krisis, inflasi termasuk didalam 13 besar variabel yang termasuk dalam
indikator krisis.
Inflasi
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
inflasi merupakan salah satu indikator terjadinya krisis, walau inflasi sendiri
bukanlah determinan utama terjadinya krisis. Namun inflasi sebagai suatu gejala
kenaikan harga barang secara umum dapat berfungsi sebagai penanda apabila
terjadi instabilitas pada suatu perekonomian.
Kesimpulannya, Inflasi dan Krisis
memiliki hubungan. Namun keduanya memiliki perbedaan substansi, baik dari segi
definisi maupun waktu terjadinya, inflasi terjadi sepanjang waktu sebagai
bagian dari dinamika perekonomian dan umumnya telah direncanakan. Sementara
krisis merupakan fenomena yang tidak terjadi setiap saat (merujuk pada gejala
yang telah di paparkan sebelumnya) dan cenderung tidak dapat diprediksi.
Pengendalian angka inflasi merupakan salah satu jalan dalam menekan atau
mengatasi terjadinya krisis, dalam artian ketika terjadi krisis pemerintah
dapat melakukan penekanan angka inflasi melalui berbagai instrumen kebijakan.
- not finished yet -
Cory Aldean, Brooks AFB, San Antonio, Texas
Terima kasih pembahasannya menarik
BalasHapusPengajuan Kartu Kredit