Transisi
ekonomi merupakan pergantian dari sistem ekonomi terpusat ke sistem ekonomi
pasar. Transisi ekonomi penting dalam membangun institusi
yang dapat mengaktifkan, memotivasi, dan membimbing pelaku ekonomi untuk dapat menciptakan kesejahteraan baik pribadi maupun
sosial. Pergantian sistem
perekonomian terpusat direncanakan untuk membangun fondasi kelembagaan
ekonomi pasar yang mana membutuhkan transformasi
kelembagaan yang dapat menjangkau
secara tepat sasaran. Transisi ekonomi menawarkan
kesempatan langka bagi para ekonom untuk mengkaji kembali kondisi yang sangat
jarang terjadi pada dinamika perubahan kelembagaan, dimana unsur-unsur
kelembagaan informal dan formal berbenturan, berinteraksi, dan bergabung
kembali untuk membentuk satu fondasi
kelembagaan ekonomi pasar.
Model sistem ekonomi bertingkat Williamson merupakan sebuah
pendekatan yang lebih luas dimana menggabungkan dua atau lebih tingkat analisis
multi-level model Williamson, diperlukan untuk mencakup secara tepat bentuk
interaksi yang kompleks antara unsur-unsur kelembagaan formal dan informal,
serta mendorong perubahan kelembagaan dan kinerja ekonomi pada masa transisi
ekonomi. Analisa dari negara yang sedang mengalami transisi membuka kesempatan bagi
para ekonom untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan baru terkait sikap saling
ketergantungan antara lingkungan dan kelembagaan dan antara lingkungan
kelembagaan dan munculnya pengaturan kelembagaan tertentu dari analisis
multi-level model Williamson.
Pertama, pengamanan hak milik dijalankan dengan mekanisme
yang baik untuk dalam koridor transaksi
ekonomi, secara umum dianggap sebagai prasyarat penting bagi pembangunan
ekonomi. Kedua, pilihan kontraktual adalah penerapan klasikal dari
transaksi ekonomi biaya pada tingkat
mikro. Menurut Williamson, pergeseran parameter lingkungan kelembagaan
mempengaruhi penghematan dari penataan kelembagaan yang optimal. Penerapan
teori kontrak karenanya menuntut penggabungan cermat lingkungan kelembagaan,
sehingga pilihan kontraktual harus dipahami dengan
baik. Pilihan kontraktual dalam transisi ekonomi yang tertanam dalam lingkungan
kelembagaan yang berbeda jelas
menyimpang dari kondisi kemapanan ekonomi. Ini berarti juga bahwa rekomendasi
kebijakan terkait jenis kontrak tertentu mungkin terbukti tidak sehat jika
kendala pemberlakuannya tidak diperhitungkan.
Swastanisasi merupakan prioritas utama dalam paket
reformasi paling menentukan bagi
pembangunan dan transisi ekonomi. Swastanisasi mencakup tidak hanya
redistribusi hak milik dari negara kepada investor swasta, tetapi juga
penciptaan pengaturan kelembagaan untuk mengelola perdagangan dan memberikan
perlindungan kekayaan tanah, benda tidak berwujud, dan surat berharga.
Secara umum diasumsikan bahwa kualitas hak
kepemilikan, seperti tercermin oleh aturan hukum dan keamanan hak milik,
mempengaruhi pertumbuhan nasional melalui empat mekanisme utama. Pertama,
jaminan hak kepemilikan mengurangi rasa tidak aman yang dengan demikian
meningkatkan kegiatan investasi nasional dan investasi asing secara langsung.
Kedua, hak kepemilikan mempengaruhi investasi dalam teknologi dan modal.
Ketiga, jaminan hak kepemilikan mengurangi biaya transaksi, seperti halnya “pesanan”
pihak swasta menjadi hal yang tidak berlaku lagi dalam kerangka kelembagaan
yang aman.
Hasil yang mengejutkan terjadi dari swastanisasi
akhir-akhir ini, bagaimanapun, bahwa efek swastanisasi jelas bervariasi di
seluruh negara dan tentunya responsif terhadap metode swastanisasi. Struktur
kepemilikan ditetapkan melalui swastanisasi ternyata relatif tidak bervariasi
karena pasar tidak tanggap, hal ini menghambat perdagangan saham, yang memiliki
dampak laten pada restrukturisasi perusahaan dan kinerja perusahaan. Fenomena
seperti munculnya kontrol luas dari orang dalam dan konsentrasi proporsi saham
yang sangat besar dari beberapa pemegang
saham menunjukkan bahwa metode swastanisasi tertentu bukanlah pilihan yang
sepele.
Mayoritas studi empiris tentang efek
swastanisasi tampaknya bertujuan untuk mengkonfirmasi bahwa eksklusivitas
peningkatan hak milik berhubungan dengan efisiensi pertumbuhan ekonomi.
Swastanisasi yang cepat, seperti di Estonia serta swastanisasi lambat, seperti
Polandia (Grosfeld dan Nivet 1999), keduanya menyajikan efek swastanisasi yang
menguntungkan, bahkan negara-negara di bawah kepemimpinan komunis, memilih
melakukan swastanisasi sebagian BUMN, karena menyadari efek positif
swastanisasi melalui pengenalan para pemegang saham pemegang saham asing.
Penjelasan untuk penyebab kesenjangan regional sebagai hasil restrukturisasi adalah beragam,
tetapi ada konsensus luas bahwa secara sederhana pembentukan hak milik de jure
yaitu, transfer formal hak milik dari negara untuk pelaku ekonomi swasta,
meremehkan kompleksitas peralihan tugas. Secara khusus, kualitas lembaga
pelengkap yang berada di bawah standar menghambat penegakan efisiensi NIE &
Aplikasinya pada masa Transisi dan Pembangunan Ekonomi. Kebanyakan transisi
ekonomi memiliki disfungsi sistem hukum
yang ditandai baik dengan undang-undang dan peraturan yang hilang atau
penegakan hukum yang ada tidak memadai. Meskipun pendekatan hak milik biasanya
tidak termasuk analisis lingkungan kelembagaan, secara implisit masih
mengandaikan adanya suatu lingkungan kelembagaan yang ditandai dengan pasar
yang matang, sistem hukum independen dan tidak memihak, menjamin pelaksanaan
secara de facto dari hukum de jure untuk aktor individual. Tak satu pun dari
asumsi ini biasanya berlaku untuk pasar negara berkembang dan transisi ekonomi.
Sebaliknya, ekonomi transisi biasanya ditandai oleh pasar produk dan modal
belum berkembang, tidak adanya budaya pasar, dan disfungsi sistem hukum. Secara
keseluruhan, tingkat keakuratan argumen yang berasal dari teori hak milik itu tentu terbatas.
Adanya ekses dari swastanisasi
menantang pemikiran umum terkait hak milik. Sebuah penafsiran sempit dari teori
hak milik juga tidak dapat menjelaskan kinerja ekonomi yang luar biasa dari
Cina dan Vietnam sejak awal reformasi ekonomi pada tahun 1978 dan 1986. Secara
khusus, kinerja yang luar biasa dari apa yang disebut Cina TVEs, yaitu
sebuah organisasi campuran yang ditandai
dengan pengaturan milik kolektif secara
resmi dan keterlibatan intensif pemerintah daerah, partai, dan
birokrasi, melemahkan gagasan umum yang berlaku mengenai "struktur hak
milik yang tepat".
Transaksi ekonomi biaya Williamson menawarkan
pendekatan yang lebih komprehensif untuk menganalisis hak milik. Dengan "
transaksi biaya sebagai unit dasar dari analisis" dan pemerintahan sebagai
"sarana yang memungkinkan untuk menanamkan ketertiban, untuk meredakan
konflik dan mewujudkan keuntungan bersama," Williamson menawarkan
alternatif normatif tentang
eksklusifitas hak milik formal dan menggeser perhatian dari hak milik de jure
ke de facto. Meskipun pendekatan hak
milik memberikan peran dominan kepada pemerintah, pandangan transaksi-biaya
menggeser perhatian pada bagaimana cara individu dan kelompok sosial
benar-benar memainkan perannya. Kemampuan swadaya melengkapi aturan formal yang
dapat meningkatkan kualitas hubungan perdagangan. Dengan demikian, mendapatkan
struktur pemerintahan yang tepat untuk menggantikan mendapatkan hak atas milik
yang terdahulu sebagai tujuan inti perusahaan dalam mengembangkan atau transisi
ekonomi menghadapi reformasi kelembagaan dalam skala besar.
Perspektif lengkap pada hukum de facto memang lebih
tepat untuk menjelaskan munculnya bentuk-bentuk organisasi campuran ditandai
dengan ketiadaan hak milik pribadi, dan membantu untuk mengungkapkan kapan dan
mengapa upaya swastanisasi berhasil atau gagal.
Titik fokus lain dalam penerapan NIE pada transisi ekonomi adalah teori kontrak,
termasuk analisis pilihan kontrak. Satu pelajaran penting yang bisa dipetik
adalah bahwa kualitas kelembagaan yang berbeda dari transisi ekonomi, ditandai
oleh tingginya tingkat ketidakpastian yang secara kritis mempengaruhi tingkat
keuntungan. Dibandingkan dengan ekonomi pasar, transisi ekonomi merupakan lingkungan yang berisiko tinggi
dengan tingkat ketidakpastian di atas
rata-rata akibat seringnya perubahan kebijakan, transparansi yang tidak
memadai, prediktabilitas yang rendah, dan hambatan birokrasi. Ketidakpastian
yang dihasilkan dari lembaga-lembaga politik dan ekonomi yang lemah semakin
memeperburuk keadaan, karena dalam sebagian besar transisi ekonomi terjadi
penyimpangan sistem hukum.
Sementara ketidakpastian yang lebih tinggi dihasilkan
dari ketidakmatangan lembaga yang kemungkinan akan mempengaruhi pilihan
kontrak, dimana penyimpangan ketertiban umum akan selalu mempengaruhi kepentingan
umum dan beragam jenis mekanisme
swadaya. Selanjutnya, transisi
ekonomi, dengan pengaturan kelembagaan yang berbeda , menyediakan tempat yang
informatif untuk mengamati interaksi antara pilihan kontrak dan lingkungan
kelembagaan, dan interaksi antara kepentingan publik dan swasta.
Salah satu contoh awal pencerahan pada interaksi
antara pilihan kontrak dan lingkungan kelembagaan diberikan oleh Stiglitz (1974) dengan model bagi hasil. Dalam pertimbangan
pengambilan risiko, pembagian sewa dapat berkembang sebagai instrumen yang
efektif untuk mendistribusikan risiko dan insentif antara petani penggarap dan
pemilik lahan. Meskipun penyelenggara memiliki insentif kuat untuk bekerja
lebih efisien dari pada sistem kontrak upah, mereka harus menanggung pembagian
hasil yang lebih kecil dari risiko keuangan dibandingkan pada sistem kontrak
sewa. Demikian pula, Laffont dan Matoussi (1995) mengembangkan teori bagi hasil
yang menekankan peranan pasar kredit yang lemah dalam pemilihan kontrak.
Insentif kontrak seperti kontrak sewa seringkali dianggap tidak mungkin karena
keterbatasan keuangan penyewa, sementara kontrak bagi hasil menawarkan
kesempatan yang lebih baik dari pembagian risiko.
Mekanisme untuk pengamanan kontrak bervariasi secara
signifikan dalam transisi ekonomi. Secara umum ada dua metode untuk mengamankan
transaksi: dengan cara penegakan hukum dan melalui mekanisme perlindungan
pribadi, seperti ketergantungan pada hubungan kontraktual dan pilihan jenis
kontrak tertentu. Ketepatan dari kedua metode jelas bergantung pada kecakapan
sistem hukum. Kerjasama bilateral antara dua mitra dagang mungkin akan muncul
jika mereka menemukan diri mereka dalam situasi alternatif terbatas yang
(sementara) mengunci kontraktor bersama-sama. Institusi, pasar yang tidak berkembang, kompetisi yang
lemah (baik oleh beberapa pembeli ataupun penjual), informasi pasar yang buruk
ketika mencari kontraktor alternatif, atau biaya transportasi yang tinggi untuk
transaksi diluar wilayah, misalnya, dengan mudah dapat mengunci mitra kontrak
dengan satu sama lain). Tanpa penguncian diantara kontraktor, dan jika hubungan
perdagangan agak jarang terjadi, hubungan kontraktual multilateral dapat
memberikan suatu mekanisme swadaya yang efektif.
Mekanisme swadaya kurang tepat diterapkan sebelum tercipta
ketertiban umum, Hubungan kontraktual
dalam jaringan sosial dan bisnis sangat bervariasi di seluruh negara-negara
berkembang dalam masa transisi ekonomi. Pertanyaan penting adalah, dalam keadaan yang bagaimana aktor individual
bergantung pada jaringan perdagangan dalam rangka menjembatani kesenjangan yang
disebabkan penyimpangan ketertiban umum.
Greif (1993) memperkenalkan gagasan bahwa perbedaan
dapat membentuk munculnya keyakinan budaya
secara signifikan dan presistensi
dalam bentuk organisasi yang berbeda. Perbedaan tingkat budaya terkait
kepercayaan antarpribadi dan hubungan kekerabatan muncul sebagai penentu
utama dalam mengembangkan
lembaga-lembaga formal.
Namun keberadaan dan pentingnya hubungan kontraktual
multilateral tidak hanya tergantung pada keyakinan budaya. Politisi juga
mempengaruhi lingkungan bisnis dengan cara mendorong atau menghambat munculnya
hubungan kontraktual untuk menggantikan lembaga formal. Prediktabilitas masa
depan adalah prasyarat utama swadaya yang efektif. Korupsi, pembebanan pajak
yang berlebihan, tingkat inflasi yang tinggi, keamanan publik yang lemah, dan
setiap keadaan yang mengurangi keuntungan di masa depan atau menghambat
perhitungan pada diharapkan terbayar dari hubungan bisnis yang berkelanjutan,
dimana dengan mudah dapat menghambat pembangunan hubungan kontraktual.
Bagaimanapun, anggapan hubungan kontraktual sebagai
obat universal bagi negara-negara dengan tingkat ketertiban umum yang rendah
merupakan kesalahpahaman. Hubungan kontraktual multilateral tidak selalu
menawarkan solusi yang memuaskan. Sementara hubungan kontraktual multilateral
biasanya bekerja dengan baik untuk perusahaan kecil dan pemula, di sisi lain
pada perusahaan berskala besar dengan portofolio produk yang sangat beragam dan
proses produksi yang kompleks akan sulit untuk mengamankan kontrak mereka dalam
jaringan sosial lokal terbatas. Dari perspektif dinamis, ketergantungan tunggal
pada hubungan kontraktual multilateral menghambat pertumbuhan melampaui ukuran
perusahaan tertentu.
Marin dan Schnitzer (2002) mengeksplorasi kembali
munculnya barter sebagai pilihan kontrak yang optimal bagi
perusahaan-perusahaan bertindak dalam lingkungan bisnis yang ditandai dengan
sistem keuangan yang lemah, tingkat inflasi yang tinggi, dan sistem hukum yang
belum matang. Mereka menunjukkan bahwa barter memungkinkan mitra dagang untuk
mengurangi risiko yang berasal dari lingkungan kelembagaan yang tidak efisien. Barter
juga menyediakan penjaminan kredit perdagangan, bahkan mungkin menyediakan
mekanisme penegakan unggul dibandingkan dengan membangun reputasi (Marin dan
Schnitzer 2003). Perdagangan dengan barter, bagaimanapun, juga memiliki
keterbatasan, sebagai pencocokan mitra dagang dan barang yang diperdagangkan
serta pemberlakuan transaksi tambahan biaya dibandingkan dengan perdagangan
pasar bersifat pribadi didukung oleh lembaga-lembaga hukum yang dapat
diandalkan dan adil.
Semua pengamatan ini mendukung gagasan bahwa penalaran
transaksi biaya berfungsi sebagai mekanisme inti untuk menentukan pilihan antara
hubungan kontraktual dan mekanisme penegakan koersif (Milgrom, North, dan
Weingast 1990). Pentingnya struktur biaya saat ini dalam pemilihan mekanisme
penegakan yang sesuai, sehingga dapat menunjukkan satu pelajaran utama untuk
transisi ekonomi di negara berkembang.
Penurunan perekonomian secara tajam, tingkat inflasi
yang tinggi, dan tingkat pengangguran yang tinggi, mengisyaratkan bahwa
penggantian satu sistem ekonomi oleh yang sistem ekonomi yang lain bukanlah
suatu usaha yang mudah. Menjadi jelas, bahwa kemampuan negara untuk mengelola
secara efektif reformasi kelembagaan, khususnya, ternyata menjadi penentu
penting dari keberhasilan reformasi secara keseluruhan. Manajemen perubahan
kelembagaan dapat secara luas dibagi menjadi dua kompetensi inti: agenda reformasi yang sesuai, dan kemampuan
politik dan birokrasi yang secara efektif diterapkan dan penegakkan perubahan
kelembagaan pada skala nasional.
Pertama-tama, pemerintah perlu mengidentifikasi
lembaga yang tepat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Di
sini, pemerintah dapat membangun terpadu temuan empiris pada lembaga-lembaga
penting untuk mendukung pembangunan ekonomi (Aron 2000, Rodrik 2006. Selain
itu, dua faktor penentu utama cenderung mempengaruhi prospek reformasi kelembagaan jangka pendek
yaitu keberhasilan Reformasi institusi suatu negara akan bergantung pada insentif pemerintah
untuk melaksanakan reformasi kelembagaan, dan kapasitas teknis untuk menerapkan
dan menegakkan reformasi kelembagaan.
Masalah inti dalam reformasi kelembagaan, ialah lembaga biasanya terdapat pada efisiensi kerangka aturan formal, yang mana diciptakan
untuk melayani kepentingan mereka yang memiliki daya tawar untuk membuat aturan
baru. Selain itu, negara-negara berkembang seringkali mengalami ketertinggalan
dan terisolasi dalam pengambilan keputusan politik dan birokrasi.
Arahan negara pada reformasi kelembagaan pasti
terbatas pada perubahan dalam aturan formal. Aturan informal, di sisi lain,
berada di luar jangkauan negara, sulit untuk berubah, dan biasanya mengandung pengaruh
yang telah melekat pada karakter jangka panjang dalam kegiatan ekonomi.
Penelitian dan teori tentang mekanisme norma-norma informal ilmu-ilmu sosial
khususnya untuk sosiolog, yang memiliki keunggulan komparatif ketika ada pertanyaan yang berfokus pada mekanisme sosial
yang menyalurkan kepentingan ekonomi dan perilaku bentuk ekonomi.
Dalam mencari kejelasan tentang kapan dan bagaimana
norma-norma informal muncul dan bertahan, adalah pertanyaan yang sangat
relevan, bagaimana norma-norma informal dan norma-norma resmi bergabung untuk
membentuk suatu kinerja ekonomi. Sosiologi ekonomi dapat memberikan wawasan
yang bermanfaat berhubungan dengan cara
norma informal dan kelompok sosial saling berhubungan, dan menggabungkannya
dengan aturan formal
Keberagaman NIE tentu menyentuh isu-isu penting yang
relevan untuk terkait pembahasan ekonomi transisi. Namun, NIE tidak memiliki rumus emas untuk menghindari
ketertinggalan atau resep bagaimana membangun ekonomi pasar. Sebuah perhitungan
yang adil dan jujur harus berfokus pada pertanyaan tentang apa aplikasi
sebenarnya telah NIE capai dan apakah konsep dan solusi yang diberikan dapat
mengungguli pandangan neoklasik utama. Seperti pandangan komparatif pasti akan
mendukung NIE.
Tidak mengherankan, suatu difusi peningkatan pemikiran
institusional dalam bidang ekonomi pembangunan dan transisi dapat diamati. Pergeseran
diamati ke arah pendekatan kelembagaan dalam pembangunan dan transisi ekonomi
sehingga dapat dengan jelas ditafsirkan dalam mencari alternatif yang tepat
untuk menjelaskan dan memahami tentang berbagai fenomena tersebut terjadi di
dunia nyata, yang mana tidak cukup tercakup oleh model neoklasik. Proporsi
analisis NIE yang berorientasi di bidang ekonomi pembangunan dan transisi ekonomi
meningkat pesat.
Dua arah utama ditekankan di sini, yang mana kedua
permintaan merupakan konsekuensi dari pendekatan interdisipliner NIE.
Pertama-tama, hubungan antara norma-norma formal dan informal merupakan salah
satu topik penting yang terungkap dalam penelitian selama satu dekade terakhir.
Kedua adalah peran penting dari negara dalam mendefinisikan dan menerapkan
lembaga formal. Permasalahan ini merupakan panggilan kuat dalam upaya
penelitian interdisipliner jika perubahan kelembagaan harus dipahami. Kita
masih terlalu sedikit tahu mengenai "interaksi antara pasar ekonomi dan
politik" (North 1995, hlm. 20), penggabungan sistematis ekonomi politik
baru mungkin memberikan wawasan baru.
Teka-teki perubahan kelembagaan tentu masih memiliki
banyak bagian yang hilang dan hingga saat ini kita masih berada jauh untuk
melihat “gambaran secara utuh” dalam waktu dekat, tapi aplikasi empiris dari
NIE dalam pembangunan dan transisi ekonomi yang sangat dinamis tak diragukan
lagi memberikan lahan subur bagi kemajuan disiplin.
Source :
New Institutional Economics and Its Application on Transition and Developing
Economies, Sonja Opper
Komentar
Posting Komentar